Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia

Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia





أعوذ بالله من الشيطن الرجيم

بسم الله الرحمن الرحيم


السلام
عليكم . بِسْــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم .لا إله إلاَّ الله .محمد رسو   ل الله
الحمد لله رب العا لمين . الصلاة و السلام على رسو ل الله .اما بعد

Banyak mungkin saudara saudari yg berpikiran jika situs ini jarang update artikel, ini disebabkan kami lebih mengutamakan mengetik ebook, membuat film dsb. Karena dengan Ebook / audio / film yg di download maka otomatis file tersebut dapat dibaca secara offline, tidak perlu online, dan yg lebih utama adalah penyebarannya akan lebih cepat karena biasanya dikopikan antara hardisk, flashdisk, disimpan di internet cafe / tempat umum atau copy link ke situs, blog, email, fb / media sosial lainnya.
Maka dari itu, perhatikanlah apa update download di situs ini, jangan terlalu diperhatikan artikel postingnya. Dan apa yang kami tulis disini hanyalah sebagian kecil dari ebook yang kami ketik sendiri berjudul:
Kami tidak dapat cantumkan semua karena posting di situs ini hanya dibatasi sekitar 15.000 huruf saja. Dari itu kami anjurkan kepada saudara-saudariku semua diseluruh pelosok negeri untuk memiliki file aslinya DI SINI secara GRATIS, FREE, CUMA-CUMA.
Cukup 1x klik maka file akan langsung di download, tanpa menunggu, tanpa memasukkan kode verifikasi, kecepatan maksimum (tergantung kecepatan internet/modem anda), dan lain sebagainya yang kami buat demi kenyamanan ummat.
Dan berikut adalah sebagian bab dari ebook tersebut.
BERBAGAI KESALAHAN ORANG BERPUASA
1.             Tetap Makan Sahur Sampai mendengar Lafazh Adzan: Hayya ‘Alash Shalah
Sebagian orang bila mendengar muadzin mengumandangkan adzan shalat Subuh, mereka baru bangun tidur untuk makan dan minum. Bila ANda menasihati dan menjelaskan bahwa itu salah, mereka akan menjawab bahwa ahal itu dibolehkan sampai muadzin mengucapkan: Hayya’alash shalah. Bila muadzin mengucapkan kalimat itu, maka makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Pendapat ini tentu membutuhkan dalil yang shahih.
Setelah kami teliti dan tanyakan, bahwa hal itu tidak ada dalilnya. Bahkan, itu hanyalah perbuatan yang dianggap baik oleh sebagian orang dan bertolak berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara
 baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafal riwayat yang lain:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas dasar perintah kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim)
Nash Al-Quran dan As-Sunnah telah menetapkan batasan imsak , yaitu ketika telah terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Bila fajar telah diketahui, maka orang yang sahur hendaklah meninggalkan makan dan minum. Inilah yang benar. Allah SWT berfirman, “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari). Ibnu Ummi Maktum adalah sahabat yang buta. Ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum ada orang yang mengatakan kepadanya, “Waktu Subuh telah tiba. Waktu Subuh telah tiba.”
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa batasan imsak itu adalah terbutnya fajar, sedangkan adzan hanya sebagai pemberitahuan hal itu. Maka, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, berarti waktu imsak telah masuk. Jadi, waktu imsak  itu bukan dibatasi pada ucapan muadzin: Hayya’alash shalah.

2.             Makan Sahur lebih Awal
Kesalahan lain yang dilakukan oleh orang yang puasa adalah bersegera makan sahur pada awal waktu. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan pahala yang banyak. Sebab, menurut As-Sunnah, seorang muslim hendaknya mengakhirkan makan sahur agar mendapatkan pahala sebab mencontoh Nabi SAW. Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi. Setelah itu, beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya, ‘Berapa lama waktu antara adzan dan makan sahur?’ Zaid bin Tsabit menjawab, ‘Kira-kira selama bacaan 50 ayat’.” HR. Bukhari dan Muslim)
3.             Sengaja Minum Saat Adzan Subuh
Kesalahan lain terkait dengan puasa, sengaja minum saat adzan Subuh kedua yang dilakukan sebagian orang. Menjelang adzan dikumandang, Anda melihatnya hanya duduk santai. Namun, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, ia justru bergegas untuk mengambil air dan meminumnya. Bila diingatkan, ia menjawab, “Aku boleh makan dan minum sampai adzan selesai.”
Dengan perbuatannya itu, ia telah merusak puasanya, terutama bila muadzin teliti dalam melihat jadwal adzan. Allah Ta’ala telah mensyariatkan waktu imsak  ketika masuk waktu Subuh dengan firman-Nya, “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari-Muslim).
Kata hatta dalam ayat dan hadits di atas berarti masuk, maksudnya kalian boleh makan dan minum sampai waktu Subuh. Hanya saja, ada permasalahan yang harus dijelaskan beraitan dengan hal ini. Yaitu, seorang muslim boleh minum air di gelas yang telah berada di tangannya saat muadzin mengumandangkan adzan. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Bila salah seorang di antara kalian mendengar seruan adzan, sedangkan gelas minuman masih di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sebelum melaksanakan keinginannya untuk minum.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, Hakim, Baihaqi, dan lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat)
Perlu ditambahkan juga terkait hal ini, bahwa seorang muslim masih dibolehkan makan dan minum setelah adzan bilamana muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya. Adzan tersebut tidak berlaku, sehingga orang yang puasa tidak diharamkan dari apa pun yang dibolehkan oleh Allah baginya di watu ifthar . Shalat Subuh juga tidak dianjurkan untuk segera dilaksanakan sebab waktunya belum masuk.
Syaikhul Islam mengatakan, “Bila Muadzin mengumandangkan adzan sebelum fajar terbit, sebagaimana Bilal mengumandangkan adzan sebelum fajar pada masa Nabi dan adzannya para muadzin di Damaskus dan kota lainnya, maka makan dan minum setelah itu tidak ada masalah dengan waktu secukupnya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Adzan shalat Subuh, baik setelah terbit fajar atau sebelumnya, jika dikumandangkan setelah terbit fajar, maka orang yang sahur wajib berhenti makan dan minum dengan sekedar mendengar adzan saja. Sebab, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Dia tidak mengumandangkan adzan kecuali fajar telah terbit.” (HR. Bukhari-Muslim). Jika kalian mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan setelah terbit fajar Subuh, maka berhentilah makan dan minum ketika mendengar adzan itu.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan saat menjawab masalah ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya, “Seorang mukmin yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta lainnya bila terbitnya fajar sudah ia ketahui. Itu dalam puasa wajib, seperti; puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWt:
“…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, lalu sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Selain itu, bila ia mendengar adzan dan mengetahui bahwa itu adzan Subuh, maka ia wajib berhenti dari makan dan minum. Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar atau setelahnya, maka yang utama dan selamat adalah berhenti makan dan minum bila telah mendengarnya. Tidak ada masalah, seandainya seseorang minum atau makan sekedarnya ketika terdengar adzan, sebab ia tidak mengetahui terbitnya fajar.
Telah diketahui bersama bahwa masyarakat yang tinggal di tengah-tengah kota yang terdapat banyak cahaya listrik, mereka tidak bisa mengetahui terbitnya fajar dengan mata kepalanya sendiri pada waktu tersebut. Namun, ia hendaknya berhati-hati dalam menggunakan jadwal adzan dan kalender waktu yang membatasi terbitnya fajar dengan jam dan menit, sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi SAW:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Bukhari)
Juga sabda beliau, “Barangsiapa menjauhi sesuatu yang samar (syubhat), berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud). Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”
4.             Memajukan Waktu Adzan Subuh
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi SAW kepada muadzin, dengan sabda beliau:
“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakan makan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Sebab itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.”
Di samping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.
5.             Merasa Berdosa Sebab Lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa
Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa sebab factor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, ahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah pendapat yang benar. Nabi SAW bersabda:
“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari)

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak. Ibnu hajar mengatakan, “Hadits tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.”
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa sebab lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun, dalil sempurnanya puasa sebab lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Nabi SAW dan diriwayatkan Abu Hurairah: “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim)
Sebab, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum sebab mengerjakan perbatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (Al Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni’.”
6.             Tidak mengingatkan Orang Lain yang Makan dan Minum Sebab Lupa
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum sebab lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bahwa bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikpanya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemunkaran dengan kebodohannya.
Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul ziz bin Abdullah bin Baz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan sebab lupa, maka Anda tidak semestinya mngingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadits. Apakah tindakan ini benar? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemunkaran, meskipun pelakunya memiliki alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.
Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (mengadha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaqun’Alaih).
Pun demikian dengan musafir, ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian sebab mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.
Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”
Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum sebab lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya?
Ia menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa sebab lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa sebab lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan Nabi SAW dan diriwayatkan Abu Hurairah, ‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim).

Sebab, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum sebab mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’
Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa sebab lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Sebab, ini termasuk mengubah kemunkaran. Nabi SAW bersabda:
‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya.’ (HR. Muslim)
Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemunkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa sebab memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.”
Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, sebab itu wajib hukumnya dan termasuk bentuk amar makruf nahi munkar . Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum sebab dianalogika dengan kedua hal tersebut.”
 
7.             Mengakhirkan Adzan Maghrib
Kesalahan lain yang berkaitan dengan muadzin pada bulan Ramadhan, ada sebagian orang tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah kegelapan merata, dan tidak cukup hanya dengan terbenanmnya matahari saja. Mereka beranggapan bahwa itu merupakan sikap lebih berhati-hati dalam ibadah. Perbuatan ini termasuk menyelisihi sunnah. Sebab, menurut sunnah, hendaknya adzan dikumandangkan ketika matahari terbenam dengan smpurna, sedangkan acuan yang lain tidak dianggap. Allah Ta’ala berfirman:
“…lalu sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam….” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Allah Ta’ala menjadikan batasan puasa dengan masuknya waktu malam.
Sedangkan, masuknya waktu malam ditandai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa bila matahari telah terbenam, berarti telah masuk waktu malam dan orang yang puasa dibolehkan berbuka.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang terbenamnya matahari, apakah dibolehkan bagi orang yang puasa berbuka dengan sekedar melihat terbenamnya matahari? Syaikhul Islam menjawab, “Bila bulatan matahari seluruhnya telah terbenam, maka yang berpuasa boleh berbuka. Sedangkan, warna merah menyala yang masih terlihat di ufuk itu tidak perlu dianggap. Bila bulatan matahari seluruhnya telah sirna, maka akan tampak warna hitam di ufuk timur, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka,”
8.             Mengakhirkan Berbuka
Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslin adalah mengakhirkan buka puasa. Di sini ada dua kesalahan; pertama , hal itu pada mumnya akan menyebabkan terlambatnya pelaksanaan shalat Maghrib. Bahkan, terkadang bisa menyebabkan habisnya waktu shalat Maghrib secara keseluruhan. Ini tentu saja musibah yang besar dan lebih pahit. Sebab itu, seorang muslim harus segera buka puasa agar bisa shalat berjamaah bersama kaum muslimin.
Kedua , mengakhirkan buka puasa berarti menyelisihi sunnah Nabi SAW dan menyerupai kaum yahudi dan nasrani. Hal ini dijelaskan oleh dalil-dalil berikut. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa rasulullah bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW bersabda:
  “Umatku senantiasa di atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang-bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban)


Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata, “Ada tiga akhlak kenabian; menyegerakan berbuka puasa; mengakhirkan makan sahir; dan melatakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” HR. Thabarani, hadits Mauquf ). Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
‘Agama (Islam) ini akan senantiasa unggul selama pemeluknya mengerakan berbuka, sebab yahudi dan nasrani mengakhirkan (berbuka).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ini merupakan dalil, bahwa kemenangan agama Islam yang didapatkan dengan mengerakan berbuka puasa itu sebab menyelisihi kaum yahudi dan nasrani. Bila menyelisihi mereka merupakan sebab kemenangan agama, sedangkan Allah mengutus para rasul agar agama yang hak dimenangkan-Nya terhadap semua agama, maka menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani termasuk tujuan terbesar diutusnya rasul.”
9.             Tidak Bersiwak Setelah Matahari Condong ke Barat
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah keengganan sebagian umat Islam bersiwak setelah matahari condong ke Barat. Mereka juga mengingkari orang yang bersiwak pada waktu tersebut. Di antara argument pengingkaran mereka bahwa bersiwak itu menghilangkan bau mulut, padahal di sisi Allah, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak kasturi, sebagaimana yang tertera dalam sabda Nabi SAW:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Asy-Syaukani mengisyaratkan dalam kitab Nailul Authar ketika menyebut perbedaan pendapat terkait bau mulut orang puasa, apakah itu terjadi di dunia atau di akhirat. Asy-sayukani mengatakan, “Perbedaan pendapat ini berakibat munculnya pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi orang berpuasa.”
Dalil lain yang mereka jadikan argumen adalah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ath-Thabrani, dan Daruquthni dari Ali secara mauquf serta dari Khabbab secara marfu’ bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila kalian puasa, maka bersiwaklah pada pagi hari dan jangan bersiwak pada sore hari. Sebab sesungguhnya, tidaklah kedua bibir orang puasa kering pada sore hari, kecuali akan menjadi cahaya antara kedua matanya pada hari kiamat.” Ini adalah hadits dha’if, marfu’ , dan mauquf . Hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan Asy-Syaukani.”
Orang yang enggan bersiwak saat matahari telah condong ke Barat atau sore hari, berdalil dengan riwayat yang berasal dari Abu Hurairah yang berkata, “Kamu boleh bersiwak sampai waktu Ashar. Bila kamu telah shalat (Ashar), maka tinggalkan siwak itu. Sesungguhnya, aku pernah mendengar Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘…bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah…” (HR. Daruquthni).”
Asy-Syaukani berkata, “Perkataan Abu Hurairah selain konteksnya tidak menunjukkan sebuah permintaan tidak bisa dijadikan hujjah sebab di dalam sanadnya terdapat Umar bin Qais. Ia tidak dipakai haditsnya. Pendapat yang benar, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang puasa, baik pada pagi maupun sore hari. Inilah pendapat jumhur ulama.” Dalil yang menunjukkan bolehnya bersiwak adalah keumuman sabda Nabi SAW:
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (Muttafaqun’Alaih)
Imam Bukhari mengatakan, “Nabi SAW tidak memberikan kekhusukan bagi orang yang puasa dari yang  lain.” Nabi SAW juga bersabda:
“Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Rabb.”
Dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dengan sanad yang dinyatakan bagus oleh Ibnu Hajar. Disebutkan dari Abdurrahman bin Ghanmin, ia berkata, “ku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal, ‘Apakah aku mesti bersiwak saat aku puasa?’ ia menjawab, ‘Ya’. ‘Kapan waktunya?’ tanyaku. ‘Sesukamu, pagi atau sore,’ jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Orang-orang enggan bersiwak di sore hari. Mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak katsuri?’ Ia menjawab, ‘Subhanallah, beliau telah memerintahkan mereka bersiwak, sedang beliau mengetahui bahwa orang puasa itu pasti bau mulutnya tidak sedap, meski ia bersiwak. Orang yang menyuruh orang lain agar dengan sengaja membuat bau mulutnya tidak sedap, maka tidak ada kebaikannya sama sekali, bahkan yang ada adalah keburukan. Kecuali, bila orang tersebut sedang diuji dengan mendapat musibah dan tidak mendapatkan jalan keluarnya sama sekali’.
Aku bertanya lagi, ‘Apakah debu akibat berjuang di jalan Allah akan dibalas dengan pahala, yaitu bagi orang yang dipaksa keuar ke sana dan tidak mendapatkan jalan keluar darinya?’ Ia menjawab, ‘Benar. Adapun, orang yang sengaja melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan, maka ia tidak mendapatkan pahala’.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Orang yang puasa tidak batal puasanya hanya dengan bersiwak. Bahkan, siwak adalah sunnah baginya dan bagi selainnya di setiap waktu, baik pagi atau sore hari.”
10.         Merasa Tertekan Sebab di Pagi Hari Dalam Kondisi Junub
Kesalahan lain adalah perasaan sangat tertekan yang dialami oleh sebagian umat Islam bila bangun pagi dalam kondisi junub. Kepada mereka, perlu disampaikan, “Tidak ada dosa atas kalian. Sempurnakanlah puasa kalian. Sebab, Nabi SAW pernah mendapatkan waktu Subuh dalam keadaan Junub. Lalu, beliau mandi dan puasa.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang orang yang puasa yang mimpi basah siang hari bulan Ramadhan; apakah puasanya batal atau tidak dan apakah ia wajib segera mandi. Ia menjawab, “Mimpi basah tidak membatalkan puasa. Sebab, itu bukan atas kemauan orang puasa. Hendaknya ia mandi janabat bila ia mendapati air mani pada dirinya. Seandainya ia mimpi basah setelah shalat Subuh dan mengakhirkan mandi sampai waktu Zhuhur, maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Pun demikian, seandainya ia menggauli istrinya pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atasnya. Ada riwayat shahih dari Nabi SAW bahwa pada waktu Subuh beliau pernah junub sebab bersetubuh, lalu beliau mandi dan berpuasa.
Wanita yang sedang haid atau nifas juga sama, seandainya keduanya telah suci pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atas mereka, dan puasanya tetap sah. Akan tetapi, keduanya tidak boleh mengakhirkan mandi atau shalat sampai terbitnya matahari. Mereka harus segera mandi sebelum terbit matahari, sehingga mereka bisa menunaikan shalat tepat waktunya. Seorang lelaki harus segera mandi janabat sebelum waktu shalat Subuh, sehingga ia bisa melaksanakan shalat dengan berjamaah. Wallahu waliyyut taufiq.”
Terkait masalah ini, Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan, “Bila fajar telah terbit, maka puasa orang yang sedang junub tetap sah dan tidak ada masalah dengannya. Dalil mengenai ini ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Allah menghalalkan bersetubuh pada malam hari sampai fajar tampak jelas. Ini berkonsekuensi bahwa orang itu tidak mandi kecuali setelah terbit fajar. Sebab, bila perbuatan ini dibolehkan untuknya sampai terbit fajar, maka ia akan tetap dalam kondisinya sampai akhir malam yang singkat itu, dan pasti mandinya akan dilakukan setelah terbit fajar.
Adapun dalil dari As-Sunnah dalah riwayat yang shahih dari Nabi SAW bahwa beliau pernah dalam keadaan junub pada waktu pagi dan beliau pun berpuasa. Akan tetapi, yang utama bagi orang yang junub hendaklah segera mandi agar ia dalam kondisi suci. Bila itu tidak mungkin, maka hendaklah ia berwudhu, sebab wudhu dapat meringankan janabat.
Nabi SAW pernah ditanya tentang orang yang tidur dalam kondisi junub. Beliau menjawab, “Bila ia telah wudhu, silakan tidur.” (HR. Bukhari). Ini merupakan dalil bahwa wudhu bisa meringankan janabat, juga sebagai dalil bahwa seseorang itu semestinya tidur dalam keadaan suci. Bisa jadi suci secara sempurna yaitu dengan mandi atau suci yang meringankan yaitu dengan berwudhu.
11.         Mengharamkan Hubungan Biologis di Bulan Ramadhan
Kesalahan lain terkait bulan Ramadhan adalah kasak-kusuk yang menyebar di kalangan kaum muslimin tentang haramnya bersetubuh dengan istri pada malam bulan Ramadhan. Mereka menolak pendapat yang membolehkannya. Penolakan ini batal dan tidak perlu dipedulikan. Allah Ta’ala berfirman.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…” (QS. AL-Baqarah [2]: 187)
Ini merupakan dalil yang tegas tentang dibolehkannya menyetubuhi istri pada malam hari bulan puasa. Siapa pun yang menyelisihi hal ini, maka ia telah mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta.
Adapun, riwayat yang dinukil dari sebagian salaf bahwa mereka tidak menyetubuhi istri-istri mereka pada malam bulan Ramadhan bila itu memang shahih dari mereka, itu bisa jadi sebab mereka tidak ada waktu untuk itu, baik sebab keseriusan mereka dalam beribadah maupun sebab sedang tidak berhasrat untuk itu pada waktu tersebut. Jadi, mereka meninggalkan perbuatan itu, tidak lantas mereka memandang bersetubuh itu haram.
12.         Melarang Anak Perempuan yang Masih Kecil untuk Puasa
Kesalahan lain terkait  bulan Ramadhan adalah pengingkaran sebagian kaum muslimin terhadap anak perempuan mereka yang sebenarnya ingin berpuasa. Mereka berargumen bahwa anak perempuan yang masih kecil tidak diwajibkan puasa, dan yang diwajibkan adalah remaja putrid yang sudah haid. Anak itu ingin berpuasa sebab merasa sudah mukallaf , lalu keluarganya melarangnya dengan argumen bahwa ia masih kecil, tanpa terlebih dulu menanyainya tentang datangnya haid.
Kita sampaikan di sini fatwa Syaikh Jibrin Hafizhahullah , ketika ditanya tentang batasan waktu wajibnya puasa bagi anak perempuan. Syaikh menjawab, “Seorang anak perempuan wajib puasa ketika telah sampai usia taklif (mendapat beban kewajiban syari’at) dan sudah balig, yaitu usia sekitar 15 tahun, atau bulu di sekitar kemaluan telah tumbuh, atau telah mimpi basah, atau mengalami haid, atau hamil. Kapan pun salah satu dari tanda itu ada, maka ia wajib puasa meski masih berusia 10 tahun.
Kebanyakan perempuan mengalami haid pada usia 10 atau 11 tahun. Keluarganya terkadang meremehkannya dan menyangka bahwa putrinya masih kecil, jadi tidak wajib puasa. Ini adalah kesalahan. Perempuan bila telah haid, berarti telah menginjak usia dewasa dan dibebani kewajiban syari’at. Wallahu a’lam.”
13.         Merasa Berat Menggunakan Inai Pada Saat Puasa
Kesalahan lain terkait bulan Ramadhan yang diyakini sebagian wanita muslimah adalah merasa berat untuk menggunakan inai pada bulan puasa.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang larangan menggunakan inai di rambut pada saat puasa, apakah itu memang membatalkan puasa? Syaikh menjawab dengan pernyataannya, “Pendapat itu tidak benar. Menggunakan inai pada saat puasa tidaklah membatalkan puasa dan tidak memberi pengaruh apa-apa padanya. Itu seperti halnya celak, tetes telinga, ataupun tetes mata. Semuanya tidak membahayakan orang yang puasa dan tidak membatalkannya.”

14.         Enggan Mencicipi Makanan
Sebagian wanita terkadang merasa enggan untuk mencicipi makanan sebab takut akan membatalkan puasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila memang tidak menelan makanan sedikit pun. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa mencicipi makanan di periuk atau sesuatu apapun.”
Imam Bukhari membuat bab dengan judul bab Ightisalush Sha’im (Mandinya Orang yang Sedang Berpuasa) . Ibnu Hajar mengatakan, “Kesesuaian pernyataan itu dengan pembahasan ini adalah berdasarkan metode al-fahwa (subtansi). Bila memasukkan makanan ke dalam mulut dan mencicipinya tidak membatalkan puasa dan itu lebih dekat kepada tindakan menelan, maka sampainya air ke kulit tubuh itu lebih utama (tidak membatalkan puasa).”
Syaikh Abdullah bin JIbrin pernah ditanya, apakah boleh tukang masak mencicipi makanan untuk meyakinkan keleztannya, padahal ia sedang puasa? Syaikh menjawab dengan redaksi sebagai berikut, “Tidak mengapa orang yang berpuasa mencicipi makanan sebab satu keperluan. Yakni, dengan cara meletakkan makanan itu di ujung lidahnya untuk mengetahui rasa manis dan asinnya, atau sebaliknya. Akan tetapi, jangan menelannya meski hanya sedikit. Makanan yang dicicipi itu hendaknya dibuang atau dikeluarkan dari mulutnya. Tindakan ini tidak akan membatalkan puasanya, insya Allah.”
15.         Wanita yang Tidak Menyempurnakan Shalat Fardhu
Kesalahan yang terkait dengan wanita, bahwa dirinya bila masuk masjid mendapati imam dan telah tertinggal satu atau dua raka’at, maka ia ikut salam bersama imam dan tidak mengganti raka’at yang ketinggalan.
Kasus semacam ini pada umumnya terjadi pada bulan Ramadhan pada waktu shalat Tarawih. Yang benar dalam masalah ini, hendaknya wanita itu menyempurnakan raka’at yang tertinggal bersama imam. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Keadaan apa pun yang kamu dapati, maka shalatlah. Dan, (raka’at) yang terluput darimu, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka, gantilah.”
Hadits ini bersifat umum dan berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Maka, seorang wanita bila masuk masjid dan telah tertinggal satu raka’at atau lebih, maka hendaknya ia menunggu sampai imam menyempurnakan salamnya, lalu ia berdiri untuk mengganti raka’at yang ketinggalan. Dengan demikian shalatnya menjadi sempurna.
16.         Sucinya Wanita Nifas Sebelum genap 40 Hari dan Tidak Berpuasa Ataupun Shalat
 
Kesalahan lain yang terkait dengan wanita, bahwa sebagian mereka pada saat nifas telah suci sebelum genap 40 hari, mereka enggan mengerjakan shalat dan puasa sebelum genap 40 hari. Ini adalah kesalahan. Yang benar, kapan pun darah nifas telah berhenti dari orang perempuan pada saat-saat tersebut meski belum genap 40 hari, maka ia harus mandi lalu menunaikan shalat dan puasa, bila itu pada bulan puasa.
Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama dari kalangan sahabat Nabi SAW, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka telah sepakat bahwa perempuan nifas itu meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali bila dirinya telah suci sebelum batas waktu itu, maka ia harus mandi dan shalat. Apabila ia masih melihat darah setelah genap 40 hari, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tetap mengerjakan shalat setelah 40 hari itu tersebut. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya, “Apakah seorang perempuan nifas boleh berpuasa, shalat, dan haji sebelum genap 40 hari, namun telah suci? Syaikh menjawab, “Ya, ia boleh berpuasa, shalat, haji, umrah, serta suaminya halal menyetubuhinya saat belum genap 40 hari namun ia telah suci. Seandainya ia telah suci pada hari ke 20, maka ia mesti mandi, shalat, puasa serta halal disetubuhi suaminya.”
Adapun riwayat dari Utsman bin Abil Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka kemakruhan tersebut ditafsirkan sebagai makruh tanzil. Artinya, itu adalah ijtihadnya semoga Allah merahmati dan meridhainya yang tidak ada dalilnya.”
Pendapat yang benar, tidak ada dosa dalam hal itu bila wanita tersebut telah suci sebelum genap 40 hari. Sucinya itu sah. Bila darah nifas itu keluar lagi dalam rentang waktu 40 hari itu, maka menurut pendapat yang benar, itu dianggap nifas dalam selang waktu 40 hari. Akan tetapi, puasanya, shalatnya, dan hajinya yang dikerjakan saat suci sebelum 40 hari itu, seluruhnya sah. Tidak sedikit pun yang hilang percuma selama itu dikerjakan pada waktu suci.”
Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini, “Kapan saja wanita nifas telah suci dan kelihatan tandanya yang telah dikenal, yaitu cairan putih atau cairan jernih sempurna, maka ia harus shalat dan puasa meskipun itu ada setelah persalinan selang sehari atau seminggu. Jadi tidak ada batasan minimalnya bagi wanita nifas. Beberapa wanita memang tidak mendapati darah sama sekali setelah persalinan. Jadi, batasan sampai 40 hari itu bukan sebuah syarat.”
Kesimpulannya, bahwa wanita nifas bila darah nifasnya telah berhenti sebelum genap 40 hari, maka ia harus shalat, puasa, dan ia halal disetubuhi suaminya. Namun, bila darah keluar kembali dalam masa 40 hari itu, maka menurut pendapat yang benar, darah itu adalah darah nifas. Sehingga, ia tidak boleh mengerjakan puasa, shalat, dan bersetubuh.
Bila darah nifas tetap keluar setelah 40 hari, maka menurut pendapat yang benar, itu merupakan darah istihadhah , yang tidak ada hukumnya. Kecuali bila darah itu bertepatan dengan masa haidnya, maka ia adalah darah haid. Imam Ahmad mengatakan, “Darah yang keluar setelah 40 hari, bila sebelumnya ia mengetahui bahwa itu kebiasaan hari-hari haidnya, maka itu adalah darah haid. Bila ia belum tahu bahwa itu kebiasaan hari-hari haidnya, maka itu adalah darah istihadhah . Degan darah istihadhah ini, seorang wanita harus shalat dan puasa, dan tidak mengulang puasa.”
17.         Wanita yang Telah Suci dari Haid Sebelum Waktu Fajar Namun Belum Mandi besar
Ada sebagian wanita yang apabila telah suci dari masa haidnya menjelang fajar dan belum memungkinkan untuk mandi sebab sempitnya waktu, maka ia tidak mengerjakan puasa dengan alasan bahwa waktu Subuh telah masuk, sedangkan dirinya belum mandi dari haidnya.
Ketika Syaikh Ibnu Jibrin hafizhahullah ditanya tentang wanita yang telah suci tepat setelah waktu fajar, apakah ia harus berhenti makan dan berpuasa pada hari itu. Bila ia puasa pada hari itu, apakah puasanya dianggap sah atau tidak, sehingga wajib mengganti (mengqadha’ ) kewajiban puasa pada hari itu?
Syaikh menjawab, “Bila darah telah berhenti pada waktu terbit fajar atau sesaat sebelumnya (lalu ia puasa), maka puasanya tetap sah, dan mencukupi kewajiban meskipun baru mandi setelah masuk waktu Subuh.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Bila perempuan telah suci pada malam hari bulan Ramadhan, meski sucinya itu tepat sesaat sebelum fajar, maka ia wajib berpuasa sebab ia termasuk orang yang wajib puasa. Tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya. Ia wajib berpuasa dan puasanya sah ketika itu, meskipun belum mandi kecuali setelah terbit fajar. Ini seperti halnya orang junub yang berpuasa dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar, maka puasanya sah berdasarkan riwayat Aisyah, “Nabi SAW pernah ketika waktu Subuh dalam keadaan junub sebab bersetubuh, dan bukan sebab mimpi basah, lalu beliau puasa Ramadhan.” (Muttafaqun’Alaih). Hukum wanita nifas itu seperti halnya hukum wanita haid.”
18.         Wanita yang Tetap Mengeluarkan Darah Setelah Masa Haidnya
Ada sebagian wanita yang apabila terus menerus mengeluarkan darah setelah masa haid, maka ia mandi dan beraktivitas sebagaimana wanita yang dalam kondisi suci. Ini tidak diperkenankan. Bila darah masih saja keluar, maka ia tetap saja terputus dari kewajiban puasa, shalat dan hukum-hukum lain terkait wanita haid, hingga ia suci yang ditandai dengan berhentinya darah.
Kami sampaikan di sini fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin terkait hal ini. Ada seorang wanita bertanya, “Bila kebiasaan datang bulan wanita selama 7 atau 8 hari, lalu sekali atau dua kali darahnya malah mengalir lebih banyak dari hari-hari biasanya itu, bagaimanakah hukumnya?”
Syaikh menjawab, “Bila kebiasaan datang bulan seorang wanita adalah 6 atau 7 hari, lalu tempo tersebut bertambah menjadi 8, 9, 10, 11, tau 12 hari, maka ia tetap tidak shalat, sampai suci kembali. Sebab, Nabi SAW tidak memberikan batasan tertentu tentang haid. Allah SWT berfirman, Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran…" (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Selama darah ini masih tetap keluar, maka seorang wanita tetap pada kondisi haid sampai suci kembali, lalu mandi dan shalat. Bila padabulan kedua masa haidnya berkurang dari itu, maka ia harus mandi bila telah suci meskipun temponya tidak seperti tempo yang lalu. Intinya, selama wanita masih haid, maka ia tidak wajib shalat, baik itu haid sesuai kebiasaan sebelumnya maupun bertambah atau berkurang. Namun bila telah suci, maka ia harus shalat.”
19.         Wanita Memakai Wewangian Waktu Shalat Tarawih
Kesalahan lain yang berkaitan dengan wanita adalah memakai minyak wangi yang aromanya menyengat ketika pergi ke masjid untuk shalat Tarawih. Mereka juga tidak berhijab dengan sempurna dan suaranya terdengar keras. Ini tentu saja menjadi sumber fitnah. Lantas, bagaimana bila si wanita tadi melakukannya pada waktu dan kondisi yang mulia (yakni bulan Ramadhan)?
Sebab itu, sudah seharusnya seorang wanita muslimah berusaha sekuat tenaga untuk menjauhinya agar selamat dari dosa yang diakibatkan dari semua perbuatan tersebut. Terutama, sebab mereka datang ke masjid untuk mencari pahala dengan mengikuti shalat dan doa bersama kaum muslimin. Kami peringatkan kaum wanita muslimah dengan firman Allah Ta’ala:
“…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nur [24]: 31)
Nabi SAW bersabda: “Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia menghadiri shalat Isyak bersama kami.” (HR. Muslim)
Dalam lafazh yang lain disebutkan: “Wanita mana saja yang memakai wewangian, lalu keluar menuju masjid, maka shalatnya tidak akan diterima sebelum mandi dulu.” (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Al-Harits bin Abi Ubaid dari kakeknya, ia berkata, “Suatu ketika, aku keluar bersama Abu Hurairah dari masjid pada waktu Dhuha. Lalu, kami berpapasan dengan seorang perempuan yang memakai minyak wangi yang baunya belum pernah dihirup hidungku sebelumnya. Abu Hurairah menyapa wanita itu, ‘Alaikis salam.’ ‘Wa’alaikas salam,’ jawabnya. ‘Kamu mau ke mana? Tanya Abu Hurairah. ‘Ke masjid,’ jawabnya. ‘Untuk apa kamu memakai minyak wangi seperti ini?’ ‘Untuk masjid.’ ‘Demi Allah?’ Tanya Abu Hurairah. ‘Demi Allah,’ jawab wanita tadi. ‘Demi Allah?’ Tanya Abu Hurairah meyakinkan. ‘Demi Allah,’ jawabnya. Abu Hurairah berkata, ‘Sesungguhnya, kekasihku, Abu Qasim (Muhammad SAW) telah memberitahukan kepadaku, ‘Sesungguhnya, tidak akan diterima shalat seorang wanita yang memakai minyak wangi yang tidak diperuntukkan bagi suaminya sebelum ia mandi layaknya mandi janabat.’ Sebab itu, pergi dan mandilah, lalu kembalilah dan silahkan shalat.” (HR. Nasai dan Baihaqi. Lihat as-Silsilatush Shahihah, no. 131).
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Kaum wanita dibolehkan menghadiri shalat Tarawih dimasjid bila aman dari fitnah terhadap dirinya dan orang lain. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Janganlah kamu larang wanita-wanita itu pergi ke masjid Allah.” (HR. Muslim)
Juga, sebab perbuatan tersebut termasuk amalan para salafush shalih. Akan tetapi, para wanita tersebut wajib berhijab dan tidak berhias atau memakai wewangian, tidak mengeraskan suara serta tidak menampakkan perhiasan. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, ‘…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’ (QS. An-Nur [24]: 31)
Yakni yang biasa tampak darinya dan tidak mungkin disembunyikan, seperti jilbab dan baju luar. Selain itu, sebab Nabi SAW ketika memerintahkan para wanita agar keluar pada hari raya Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbab padanya.’ (Muttafaqun ‘Alaih).
Menurut sunnah, posisi kaum wanita hendaknya di belakang kaum laki-laki dan menjauh dari mereka. Kaum wanita hendaknya membentuk shaf awal dari belakang sendiri, lalu depannya, dan seterusnya, berlawanan dengan shaf laki-laki. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah shaf terakhir. Sedangkan, sebaik-baiknya shafperempuan adalah yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang pertama.” (HR. Muslim)
Para wanita hendaknya segera beranjak pergi setelah ucapan salam imam dan jangan berlambat-lambat kecuali ada halangan. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah yang berkata, “Dulu, bila Nabi SAW selesai mengucapkan salam, maka para wanita bangkit ketika beliau selesai mengucapkan salam. Sementara, beliau masih di tempatnya sejenak sebelum berdiri”. Ia melanjutkan, ‘Kami berpendapat wallahu a’lam bahwa hal itu agar para wanita beranjak pergi terlebih dulu sebelum mereka tersusul kaum laki-laki. (HR. Bukhari)
Syaikh Shalih Fauzan bin Al-Fauzan Hafizhahullah ketika menjawab tentang masalah ini mengatakan, “Seorang wanita bila berangkat ke pasar lalu mengerjakan shalat atau lainnya, ia tidak diperkenankan memakai minyak wangi, krim pewangi, dan lainnya. Sungguh, ada hadits shahih dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia turut shalat Isyak bersama kami.”
Pada kesempatan ini, saya ingin mengingatkan satu persatu terkait dengan kebiasaan sebagian wanita yang mendatangi masjid pada saat bulan Ramadhan dengan memakai wewangian. Mereka memakainya saat berada di dalam masjid, sehingga aromanya itu melekat pada mereka. Bila mereka berangkat kepasar, sisa aroma minyak wangi itu masih tercium. Ini tentu saja menyelisihi syari’at terkait dengan mereka.”
Sebab itu, wahai kaum ibu dan wanita muslimah, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan dan menambahkan kepada kalian semangat cinta kebaikan dan bersegera kepadanya, saya ingatkan kalian dari bujukan setan dan perangkapnya. Kalian adalah para pendidik dan pengajar bagi generasi Islam mendatang. Sebab itu, jadilah orang yang pantas mengemban tanggung jawab tersebut yang dibebankan di atas pundak kalian.”
20.         Melewatkan Shalat Isyak Demi Shalat Tarawih
Kesalahan sebagian kaum muslimin lainnya dalam bulan Ramadhan adalah meninggalkan shalat Isyak hanya sebab ingin bermakmum kepada iman tertentu yang biasanya ia shalat Tarawih bersamanya setiap malam. Ini merupakan kesalahan yang nyata dan tindakan yang tidak diperkenankan. Pelakunya berdosa bila mengetahui bahwa shalat Isyak akan terlewatkan. Sebab, ia telah menyepelekan penjagaan terhadap shalat fardhu berjamaah hanya untuk mendapatkan shalat Tarawih.
Anda akan lebih heran lagi bilamana Anda melihat dan mendengar ulah mereka yang datang berbondong-bondong ke masjid tertentu (yang bacaan imamnya lebih bagus). Setiap kali satu kelompok ikut shalat berjamaah, kelompok lain pun datang. Kondisinya tetap seperti itu sampai imam tetap masjid itu selesai mengucap dua atau tiga salam shalat Tarawih.
Anehnya lagi, ada di antara mereka yang melewati satu masjid ke masjid lainnya, padahal waktunya telah mendekati iqamah. Celakanya lagi, ada sebagian mereka yang telah mendengar beberapa masjid telah mulai melaksanakan shalat Isyak, namun mereka masih saja berjalan ke masjid yang lebih jauh. Ini termasuk tipu daya setan terhadap mereka. Bila tidak begitu, bagaimana bisa seorang muslim yang berakal menyia-nyiakan keutamaan bulan mulia ini, khususnya dalam menggapai shalat berjamaah? Bagaimana kondisi seseorang selalu berbuat demikian ini pada malam-malam bulan Ramadhan?
Untuk orang-orang macam ini, perlu dikatakan, “Ingatlah kondisi Nabi kalian yang bersemangat dalam kebaikan selama hidup beliau secara umum, dan di bulan Ramadhan khususnya. Ibnu Abbas berkata, ‘Nabi adalah orang yang paling giat dalam kebaikan. Beliau lebih giat lagi ketika dalam bulan Ramadhan…’ Al-Hadits.
Di manakah semangat kalian dalam kebaikan? Kalian datang ke masjid yang kalian inginkan, sedangkan shalat telah berlalu satu atau dua raka’at, atau bahkan terlewatkan semuanya. Perbuatan ini yakni menyepelekan dalam mendapatkan shalay Isyak berjamaah hanya untuk mendapatkan shalat Tarawih berjamaah termasuk celah masuk bagi setan atas seorang muslim. Sebab, setan telah memalingkan dari penjagaan terhadap pelaksanaan yang wajib menjadi penjagaan terhadap pelaksanaan shalat sunnah.
Ibnul Qayyim membagi godaan setan terhadap anak keturunan Adam itu menjadi tujuh tigkatan. Ia menempatkan urutan keenam adalah sibuk memilih sesuatu yang derajatnya lebih rendah (mafdhul) daripada yang derajatnya lebih baik (fadhil). Ibnul Qayyim berkata, “Tingkatan godaan keenam, setan menyibukkan seseorang dengan amalan yang derajatnya lebih rendah disbanding yang lebih utama untuk melenyapkan keutamaan itu darinya dan hilangnya pahala amal utama. Setan itu memerintahnya agar mengerjakan amal kebaikan yang rendah derajatnya, memotivasinya serta menghiasinya bila amalan itu memang mengandung unsur meninggalkan yang afdhal dan lebih tinggi derajatnya.
Sedikit sekali orang yang waspada terhadap hal ini. Ada sebagian orang yang apabila melihat pada dirinya terdapat dorongan yang sangat kuat untuk melakukan sebuah ketaatan yang tidak disangsikan merupakan salah satu bentuk ketaatan dan bentuk taqarrub, maka hamper dipastikan ia tidak akan mengatakan bahwa dorongan tersebut berasal dari setan. Sebab, setan itu tidak memerintahkan kebaikan. Ia melihat bahwa itu merupakan sebuah kebaikan, seraya berkata, ‘Dorongan ini berasal dari Allah.’
Orang seperti ini dapat dimaklumi, sebab ia belum tahu bahwa setan memberi perintah melalui tujuh puluh pintu kebaikan untuk menjerumuskan kepada salah satu pintu keburukan ataupun sebagai sarana untuk menghilangkan kebaikan yang lebih besar dan lebih mulia dari tujuhpuluh pintu kebaikan tersebut.
Pengetahuan seperti ini memang tidak akan dicapai kecuali dengan cahaa dari Allah yang dipancarkan ke dalam hati seorang hamba. Penyebab jauhnya cahaya itu adalah keengganan seseorang untuk mengikuti Rasul SAW serta tidak adanya keseriusan terhadap tangga-tangga amal di sisi Allah dan amal yang paling dicintai-Nya, dan yang paling diridhai-Nya. Amal yang paling bermanfaat dan paling luas bagi hamba, sebagai nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, orang-orang mukmin, orang-orang terpandang, maupun kalangan awam.
Tidak ada yang mengetahui kecuali para pewaris Nabi dan para wakil dan khalifah-Nya di muka bumi sedangkan, banyak orang tidak paham akan hal ini hingga tidak terlintas di hati mereka. Dan, Allah memberikan anugerah-Nya pada siapa dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya.” (Bada’iul Fawaid, II: 261-262).
Bila masalah ini berkenaan dengan orang yang sibuk memilih amalan yang lebih rendah derajatnya daripada yang utama, lantas bagaimana kiranya dengan orang yang menyia-nyiakan kewajiban shalat berjamaah hanya untuk mendapatkan amalan sunnah? Tidak disangsikan lagi bahwa masalah ini lebih besar dan berbahaya. Maka, bertakwalah kalian semua dan janganlah kalian membuka pintu masuk bagi setan menuju kalian. Bila perbuatan tersebut sering dilakukan dalam bulan Ramadhan, dikhawatirkan ia akan menikmati amalan itu hingga berlanjut menjadi kebiasaannya. Sebabnya, seorang muslim yang ingin taat kepada Allah semestinya sangat gigih untuk mendapatkan shalat berjamaah agar bisa memperoleh pahala.
21.         Terlalu Cepat Melaksanakan Shalat Tarawih
Kesalahan lain adalah tidak menyempurnakan pelaksanaan shalat Tarawih. Yaitu mengerjakannya seperti ayam mematuk dan sangat cepat dalam membaca dengan tidak ada tujuan lain kecuali agar cepat selesai.
Syaikh Muhammad Jamaludin Al-Qasimi mengatakan, “Bukan rahasia lagi bahwa shalat Tarawih setiap malam di bulan Ramadhan adalah amalan sunnah yang diwariskan secara turun-temurun. Sungguh, ada banyak imam di sebagian besar masjid yang mempercepat shalat sampai pada tingkatan yang menyebabkan bisa merusak rukun-rukun shalat dan sunnah-sunnahnya, misalnya meninggalkan tumakninah dalam rukuk dan sujud. Kesalahan lain semisal menyeret bacaan, memasukkan huruf bacaan satu sama lain. Semua itu dilakukan sebab ingin cepat selesai. Perbuatan ini sangat mirip dengan tipu daya setan terbesar terhadap orang beriman. Tipu daya itu akan membatalkannya amal pelakunya seiring dengan yang diperbuatnya. Bahkan, kebanyakan orang yang menaati setan dengan tergesa-gesa itu, shalat mereka lebih dekat kepada perbuatan main-main belaka ketimbang merupakan sebuah amal ketaatan.
Sebab itu, orang yang shalat, baik shalat fardhu atau pun sunnah, wajib menegakkan shalat dengan sifat lahiriahnya, berupa bacaan, berdiri, rukuk, sujud dan sejenisnya, sedangkan sifat batiniyahnya, yaitu dengan khusyuk, menghadirkan hati, ikhlas sepenuhnya, merenungkan, memahami makna bacaan, tasbih dan semisalnya. Lahiriyah shalat itu merupakan amalan anggota badan. Sedangkan, batinnya adalah amalan hati. Itu merupakan cara pandangan yang benar dari seorang hamba.
Imam Ghazali telah membuat satu perumpamaan bagi orang yang mengerjakan shalat lahirnya saja tanpa batinnya bagaikan orang yang mempersembahkan kepada raja agung seorang gadis yang membujur kaku tidak bernyawa. Perumpamaan orang mengurangi lahiriyah shalatnya, bagaikan orang yang mempersembahkan kepada raja agung seorang gadis yang terputus semua ujung jarinya dan matanya buta. Dengan dua hadiah seperti itu, dua orang tersebut pantas mendapatkan hukuman dan siksa dari sang raja disebabkan penistaan dan pelecehan keduanya terhadap kehormatan sang raja. Lebih lanjut, Al-Ghazali berkata, “Engkau menghadiahkan shalatmu kepada Rabbmu. Sebab itu, jauhilah memberi-nya hadiah seperti itu agar engau tidak mendapatkan hukuman.” (Ishlahul Masajid, hal. 85-86)
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan saat berbicara tentang sifat shalat Nabi dan para sahabat “(Shalat mereka) itu berbeda dengan shalat yang dilakukan kebanyakan manusia sekarang ini. Orang-orang sekarang shalat Tarawih dengan sangat cepat. Mereka tidak memenuhi kewajiban shalat, yaitu tenang dan tumakninah, yang merupakan rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Mereka (para imam itu) mengurangi rukun ini dan membuat lelah orang-orang di belakang mereka yang terdiri dari orang-orang lemah, orang sakit, dan manula. Mereka membuat jengkel diri mereka sendiri dan orang lain. 
Para ulama menyatakan bahwa makruh bagi imam mempercepat shalat dengan kecepatan yang bisa menghalangi makmum untuk mengerjakan sunnah-sunnah shalat. Lantas, bagaimana halnya jika tindakan mempercepat shalat itu menghalangi orang untuk melakukan bagian shalat yang sifatnya wajib? Kita memohon keselamatan kepada Allah.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pernah ditanya tentang sikap terburu-buru dalam shalat Tarawih. Ia menjawab, “Pertanyaan Anda bahwa bila imam shalat dengan cepat maka banyak orang yang bermakmum kepadanya, sedangkan bila ia memperlama maka tidak ada yang ikut shalat bersamanya kecuali sedikit. Tidak pelak lagi bahwa setan memiliki tujuan dalam hal ini dan berambisi agar seseorang meninggalkan amalnya. Bila setan tak kuasa melakukan itu, maka ia akan berbuat sesuatu yang bisa membatalkan amal.
Kebanyakan imam di banyak negeri melakukan perbuatan jahiliyah dalam shalat Tarawih. Mereka mengerjakan shalat, namun mereka sendiri tidak memahami apa itu shalat. Mereka tidak tumakninah dalam sujud maupun dalam rukuk. Padahal, tumakninah adalah rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Kehadiran hati di hadapan Allah Ta’ala, meresapi firman Allah saat dibaca, khusyuk, dan tumakninah dalam shlat adalah suatu keniscayaan. Inilah yang biasanya tdak didapat oleh kebanyakan orang yang terburu-buru.
Bila Anda ingin shalat 20 raka’at bersama imam tetapi terburu-buru, maka lebih baik Anda shalat 10 raka’at saja tetapi dengan khusyuk dan tumakninah. Ini lebih bermanfaat bagi Anda daripada banyak raka’at tanpa diiringi khusyuk dan tumakninah. Apa yang kami sebutkan ini adalah yang semestinya dikerjakan. Namun, bila terjadi cekcok antara jamaah dan imam, misalnya sang imam bertekad untuk mempercepat shalat, sedangkan jamaah tidak menyetujuinya bila mengerjakan sesuai sunnah, maka ia semsetinya bertekad untuk tetap tumakninah dan tidak tergesa-gesa sebab bisa mengurangi kesempurnaannya.
Pada kondisi seperti ini, memendekkan bacaan dengan disertai khusyuk dalam rukuk dan sujud adalah lebih utama daripada memanjangkan bacaan shalat namun dengan tergesa-gesa yang dimakruhkan. Demikian pula, shalat 10 raka’at dengan bacaan yang panjang dan tumakninah dalam rukuk dan sujud, itu lebih utama daripada shalat 20 raka’at dengan tergesa-gesa yang dimakruhkan. Sebab, inti shalat dan ruhnya adalah menghadapkan hati kepada Allah dalam melakukannya. Barangkali yang sedikit itu lebih baik daripada yang banyak.” (Ad-Durarus Saniyah, IV: 186-187)
Penulis kitab As-Sunan wal Mubtada’at menyebutkan, bahwa ada sebagian imam yang shalatnya menyerupai shalatnya orang gila, terutama pada waktu shalat Tarawih. Ia menyebutkan bahwa mereka shalat sebanyak 23 raka’at dalam waktu kurang dari sepertiga jam. Dalam seluruh raka’atnya, mereka membaca surat Al-A’la atau Adh-Dhuha, atau seperempat dari surat Ar-Rahman. Ini tentu saja shalat yang batil menurut setiap muslim yang berakal di seluruh madzhab.  Sebab, itu adalah shalatnya kaum munafik, yang disertai oleh Allah dengan firman-Nya: “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas…” (QS. AN-Nisa’ [4]: 142)
Shalat mereka tidaklah seperti shalat orang beriman yang beruntung yang disifati oleh Allah dengan firman-Nya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.” (QS. Al-Mukminun [23]: 1-2)
Shalat tersebut juga bukan seperti shalatnya Rasulullah SAW. Beliau melarang shalat seperti gagak mematuk dan mencuri dalam shalat. Imam Ad-Darimi meriwayatkan dari Abu Al-Aliyah, “Kami pernah mendatangi seseorang untuk kami ambil ilmunya. Kami melihat shalatnya. Bila shalatnya bagus, maka kami menimba ilmunya. Sebab, menurut kami bila shalatnya bagus, maka dalam hal lainnya tentu lebih bagus. Akan tetapi, bila shalatnya buruk, kami akan meninggalkannya sebab menurut kami, bila shalatnya buruk, maka dalam hal lainnya tentu lebih buruk.” Dinukil secara ringkas hal. 155.
22.         Rutin Melakukan Qunut dalam Shalat Tarawih
Kesalahan lainnya adalah terus menerus melakukan qunut dalam shalat witir pada bulan Ramadhan setelah rukuk, dan mengingkari orang yang tidak mengerjakannya. Sebenarnya, qunut itu terkadang dikerjakan setelah rukuk, terkadang sebelum rukuk. Semua ini shahih berasal dari Nabi SAW. Atas dasar ini, imam boleh memilih antara melakukan qunut setelah rukuk, sebelum rukuk, atau terkadang tidak melakukannya.
Qunut setelah rukuk, dalilnya adalah riwayat dari Anas, bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk dalam shalat Subuh. (HR. Bukhari). Qunut sebelum rukuk, dalilnya adalah riwayat dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Nabi SAW pernah melakukan qunut sebelum rukuk.” Diriwayatkan dari Alqamah bahwa Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi SAW lainnya pernah melakukan qunut shalat witir sebelum rukuk.  Adapun meninggalkan qunut sesekali waktu, maka imam boleh melakukannya. Bagi orang yang mengingkarinya hal ini, maka ia wajib mengemukakan dalil. Namun, ia tidak akan mendapatkan dalil. Justru dalil yang ada akan membungkamnya.
Syaikh AL-Albani mengatakan, “Dulu, Nabi kadang-kadang melakukan qunut dalam raka’at shalat witir. Kami katakana ‘kadang-kadang’ sebab para sahabat yang mriwayatkan sifat shalat witir itu tidak menyebutkan adanya qunut di situ. Seandainya Nabi SAW selalu mengerjakannya, niscaya mereka semua akan menukilnya dari beliau SAW. Benar, Ubay bin Ka’ab meriwayatkan dari beliau sendirian. Ini menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya sesekali waktu saja. Ini menjadi dalil bahwa qunut tidak wajib hukumnya. Inilah madzhab mayoritas ulama.
Oleh sebabnya, dalam Fathul Qadir , I: 306, 359, dan 360, Muhaqqiq Ibnul Hammam pun mengakuinya bahwa pendapat yang mewajibkan qunut adalah lemah, tidak ada landasan dalilnya. Ini merupakan bentuk keadilan dan ketidakfanatikannya. Pendapat inilah yang dikuatkannya, meski hal tersebut menyelisihi madzhabnya sendiri.”
Ada juga riwayat yang shahih dari Ubay bin Ka’ab bahwa ia pernah melaksanakan (mengimami) shalat bersama para sahabat, lalu qunut pada separuh akhir bulan Ramadhan. Ada lagi riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia tidak melakukan qunut dalam shalat witir. Ada juga atsar lain yang menunjukkan bolehnya meninggalkan qunut dalam shalat witir.
23.         Menangis Secara Berlebihan dalam Shalat Tarawih
Kesalahan lainnya adalah tangisan keras yang terdengar dari sebagian orang dalam shalat Tarawih. Terkait hal ini, perlu dikatakan, “Menangis ketika membaca Al-Quran menunjukkan Insya Allah bahwa yang shalat terkesan dengan firman Allah yang agung yang ia dengar. Tidak diragukan dan tidak disangsikan lagi bahwa ini merupakan perkara yang terpuji. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (sebabnya)…” . (QS. Al-Anfal [8]: 2)
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang [1312] , gemetar sebabnya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, lalu menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah…”. (QS. Az-Zumar [39]: 23)
Imam Nawawi mengatakan, “Siapa pun yang tidak bisa menangis ketika membaca AL-Quran, maka menangislah sebab tidak bisa menangis. Sebab, itu sungguh merupakan musibah besar.”
Akan tetapi, yang terlihat dan terdengar dari sebagian orang yang shalat adalah suara tangisan yang keras. Sehingga, hal itu menyebabkan orang-orang yang disekitarnya terganggu, ditambah lagi dengan gerakan-gerakan yang mengiringi tangisan itu.
Anehnya, tangisan mereka itu terjadi ketika membaca doa qunut, bukan ketika membaca Al-Quran. Perlu dikatakan kepada orang yang seperti itu, “Sebaiknya, tangisan dan rasa haru itu ditempatkan ketika mendengar bacaan Al-Quran.”
Syaikh Bakr bin Abdullah bin Abu Zaid Hafizhahullah ketika mengomentasi masalah menangis dalam qunut, bukan ketika membaca Al-Quran, mengatakan, “Makmum ataupun imam yang dikehendaki oleh Allah menangis ketika membaca qawari’ut tanzil (ayat-ayat yang bila dibaca, maka akan amanlah dirinya dari godaan setan) dan ayat-ayat dzikir yang dibaca pada malam-malam bulan Ramadhan, bahkan sepanjang tahun. Semoga Allah membalas niat baik mereka. Kita hamper-hampir tidak pernah mendengar sedu-sedan dan raut muka sedih sebab tangisan imam atau makmum. Padahal, Allah Ta’ala berfirman, ‘Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.’ (QS. Al-Hasyr [59]: 21)
Seandainya kita perhatikan Sunnah Rasulullah, beliau adalah manusia yang paling bertakwa dan paling takut kepada Rabbnya. Ada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Aku pernah masuk menemui Nabi ketika beliau sedang shalat. Aku mendengar gemuruh di dada beliau seperti suara mendidihnya (isi) periuk disebabkan tangisan.”
Ketika Abdullah bin Mas’ud membaca surat An-Nisa’ dan sampai pada firman-Nya, “Maka, bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).’ (An-Nisa’ [4]: 41). Nabi SAW bersabda, ‘Cukup’. Ibnu Masud berkata, ‘Aku menoleh kepada beliau, ternyata kedua ata beliau mencucurkan air mata.”
Lalu, wahai hamba Allah, lihatlah kondisi para salaf ketika mereka mendengarkan bacaan Al-Quran, juga pengingkaran mereka terhadap pembacanya yang keluar dari batasan yang wajar. Imam Asy-Syatibi mengatakan, ‘Said bin Manshur dalam tafsirnya mengelarkan sebuah riwayat dari Abdullah bin ‘Urwah bin Zubair yang mengatakan, ‘Aku pernah bertanya kepada nenekku, Asma’, Bagaimanakah kondisi para sahabat dulu bilamembaca Al-Quran?’ Ia menjawab, ‘Mereka seperti yang disifatkan oleh Allah, yaitu mata mereka mengalirkan air ata dan kulit mereka merinding.’ Aku berkata, ‘tetapi orang-orang di sini bila mendengar bacaan Al-Quran, mereka jatuh pingsan.’ Asma’ berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.’
Abu ‘Ubaid meriwayatkan sebagian hadits Abu Hazim yang berkata, ‘Ibnu Umar pernah melewati salah satu penduduk Irak yang jatuh pingsan, sedangkan orang-orang mengerumuninya. Ia bertanya, ‘Ada apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Bila dibacakan kepadanya ayat Al-Quran atau mendengar nama Allah tersebut, maka ia tersungkur jatuh sebab takut kepada Allah.’ Ibnu Umar berkata, ‘Demi Allah, kami adalah orang yang sangat takut pada Allah, tetapi kami tidak pernah tersungkur jatuh seperti ini.’ Demikianlah pengingkaran yang dilakukan Ibnu Umar.
Dikisahkan kepada Aisyah, ‘Ada satu kaum yang bila mendengar Al-Quran mereka jatuh pingsan.’ Aisyah menjawab, ‘Sesungguhnya, Al-Quran itu lebih mulia dari pada hilangnya akal seseorang. Sifat Al-Quran adalah sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, ‘Kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya gemetar sebabnya, lalu kulit dan hati mereka menjadi tenang waktu mengingat Allah.’ (QS. Az-Zumar [39]: 23)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia pernah ditanya tentang satu kaum yang bila dibacakan AL-Quran kepada mereka, maka mereka tak sadarkan diri. Anas menjawab, ‘Itu perbuatan orang-orang Khawarij.”
Abu Nuaim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Ibnu Zubair berkata, ‘Aku pernah datang kepada Ayahku, lalu ia bertanya, ‘Dari mana saja kamu?’ Aku menjawab,’Aku menjumpai beberapa kaum yang berdzikir kepada Allah, lalu salah seorang di antara mereka ada yang menggigil sampai jatuh pingsan sebab takutnya kepada Allah, sehingga aku pun duduk bersama mereka.’ Ayah berkata, ‘Jangan kamu duduk bersama merekalagi.’ Ayah melihatku seakan-akan beliau tidak suka bila perbuatan itu menimpaku. Ayah berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan Umar membaca Al-Quran, namun mereka tidak sampai jatuh pingsan. Apakah kamu melihat mereka lebih khusyuk kepada Allah daripada Abu bakar dan Umar? Sehingga, ketika kamu melihat hal itu, kamu meninggalkan (sunnah) mereka. Ini semua hanyalah direka-reka dan memaksa diri. Para ahli ibadah sama sekali tidak meridhainya’.”
Ibnu Muflih mengatakan, “Yang diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat beliau ketika mendengar Al-Quran dibaca hanyalah mengalirkan air mata, kulit merinding, dan hati melembut. Ini sebagaimana firman Allah, ‘Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik…’.” (QS. Az-zumar [39]: 23)
Ibnu Mas’ud pernah membacakan ayat-ayat Al-Quran untuk Nabi SAW. Ketika sampai pada firman-Nya, “Maka, bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat….” (QS. An-Nisa’ [4]: 41). Nabi SAW bersabda, “Cukup.” Ibnu Mas’ud berkata, “Aku menoleh kepada beliau, ternyata kedua mata beliau mencucurkan air mata.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tentang hilang kesadaran ataupun pingsan dan semisalnya, itu terjadi pada masa tabi’in, disebabkan kuatnya pengaruh bacaan Al-Quran itu, sedangkan hati mereka lemah. Berbeda dengan para sahabat, hati mereka kuat dan sempurna, sehingga itu tidak terjadi para mereka.”
Sekali lagi, apa yang kami tulis disini hanyalah sebagian kecil dari ebook yang kami ketik sendiri berjudul:
Kami tidak dapat cantumkan semua karena posting di situs ini hanya dibatasi sekitar 15.000 huruf saja. Dari itu kami anjurkan kepada saudara-saudariku semua diseluruh pelosok negeri untuk memiliki file aslinya DI SINI secara GRATIS, FREE, CUMA-CUMA.
Cukup 1x klik maka file akan langsung di download, tanpa menunggu, tanpa memasukkan kode verifikasi, kecepatan maksimum (tergantung kecepatan internet/modem anda), dan lain sebagainya yang kami buat demi kenyamanan ummat.
Mohon bantu usaha dakwah kami dengan klik share dibawah ini, mungkin sekali facebook (network milik yahudi) memblokirnya, namun hal ini dapat diatasi dengan menekan tombol x atau menghilangkan prewiewnya. Cara lain pun bisa dilakukan dengan menghapus tulisan http:// -nya sebelum dipaste kan ke status.
Semoga ini semua menjadi amal ilmu dengan pahala tak putus bagi kita semua dan bagi saudara saudari yang mengikutinya setelah kita tiada... aamiin

No comments:

Post a Comment