Di tengah arus liberalisasi dan demokrasi
yang begitu kencang, menyerang dan menggerogoti NU sebagai ormas Islam
terbesar di Indonesia,
muncul seorang ustad yang lama belajar di pondok
NU, sangat tegas dan pemberani dalam menyampaikan risalah Islam.
Terutama menyampaikan kebenaran dalam menjaga tauhid umat Islam agar tidak luntur oleh millah kekafiran di zaman modern.
Ustadz Mustaqim, Lc alumni pesantren NU
Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur ini, beliau kembali
menangapi beberapa kasus yang hangat seputar akhlak aktivis dakwah yang
terjerembab dalam demokrasi dewasa ini.
Dalam kesempatan kajian umum bulanan,
Ahad Legi 12 Mei 2013, yang bertajuk ‘Kewajiban Berakhlak Karimah” di
Masjid Darusalam Ngawen, Blora, Jateng , dalam muqaddimahnya beliau
menyampaikan surat Al-Baqoroh : 208, kemudian beliau menjelaskannya.
”Ketika kita mengaca kepada sejarah
dakwahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah ketika
berdakwah dari awal itu bissilmi kaffah, bukan memakai sistem yang dipakai orang hari ini. Mana to, kaffah yang
dikatakan akhlak yang mulia? Adalah menegakkan tauhid, karena ketika
tauhidnya bagus maka akhlak akan menyertai, maka bila ada orang yang
akhlaknya rusak maka aqidahnya rusak,” jelasnya.
Ustadz muda yang aktif berdakwah di jalur
pantura ini juga menyampaikan, sejak lahirnya demokrasi sudah cacat,
maka siapa pun yang mengikutinya juga cacat.
“Sistem parelemen adalah sistem
demokrasi, demokrasi adalah konsep atau nama yang dibuat oleh kafir,
yang oleh orang-orang kafir sendiri sekelas Plato dan Aristoteles
mengatakan demokrasi dari lahirnya sudah cacat. Maka para pelaku
demokrasi itu adalah orang-orang cacat, maka bila ada seorang ustadz
yang mengikuti demokrasi adalah ustadz cacat itu,” tegasnya.
Di hadapan ratusan jamaah yang hadir saat itu, beliau juga memberikan tamsil kepada jamaah dengan amat jelas.
”Demokrasi itu yang menciptakan orang
kafir, maka siapapun yang masuk ke dalam sistem itu, dia harus mengikuti
sistem itu, aktivis dakwah begitu masuk demokrasi maka dia seperti
comberan dan kotoran,” imbuhnya.
Ustad yang mengambil S1 dan S2 di
universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini juga memberikan sebuah kritik yang
tajam bersangkutan para aktivis dakwah yang masuk kedalam parlemen.
“Kelakuannya di palemen kok rusak,
mungkin kelakuannya sebelum masuk ke dalam parlemen itu bagus, tapi
ketika dia masuk ke dalam sistem yang rusak dia akan menjadi rusak.
Segelas susu kalo belum tercampur apa-apa, indah dan sangat enak untuk
di minum. Begitu susu ini njenengan (antum) masukkan ke comberan yang bercampur dengan kotoran kotoran itu, dia akan berubah tidak karuan (tidak menentu).
Sama, aktivis dakwah yang masuk identik
dengan comberan, dia menjadi comberan seperti dimana dia berada dan itu
berbahaya. Maka aktivis dakwah jangan coba-coba berpikir untuk menjadi
kaya atau ingin merubah Indonesia dengan parlemen, tidak akan pernah
bisa!” tuturnya.
Bahkan ustadz yang sempat jadi pimpinan
pondok pesantren Muhammadiyah di Klaten beberapa tahun lalu itu juga
menerangkan dengan jelas hukum demokrasi.
“Menjadi angota DPR tanpa akhlak maka
akan hancur, dan ciri DPR yang berakhlak adalah keluar dari DPR,
demokrasi itu haram. Begitulah dahulu saya memahami, tapi sekarang hukum
demokrasi adalah kufur,” ujarnya.
Ustadz yang sekarang lebih memilih
berwiraswata dan berjualan di pasar tradisional dari pada masuk sistem
tapi berkoalisi dengan kekafiran ini, memang sangat tegas dalam
ceramah-ceramahnya. Sehingga sebagian aktivis Islam di sekitar, Pati,
Kudus, Rembang dan Blora banyak yang menyebut beliau “Singa Tauhid dari
Pantura” karena gencarnya beliau dalam mengkampanyekan pentingnya
tauhid dan kafirnya sistem demokrasi.
Semoga umat islam indonesia makin sadar bahwa tak mungkin demokrasi menjadi pijakan dalam memperjuangkan Islam. Wallhu a’lam bisshawab. [Kyai Samping Lepen]
No comments:
Post a Comment