Akhirnya Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai, menolak jika institusinya
dikatakan mengusulkan sertifikasi ulama’. Menurutnya, BNPT tidak pernah
mengusulkan gagasan itu. Apa yang dikemukakannnya tentang sertifikasi
ulama’ di Singapura dan Turki itu hanyalah contoh, bukan dimaksud
sebagai program BNPT.
Klarifikasi itu dilakukan setelah adanya penolakan
keras mulai dari PBNU, FPI hingga MUI sendiri. Bahkan, partai politik
pun ikut-ikutan menolak ide gila tersebut.
Ketika Singapura dan Turki Menjadi Contoh
Singapura memang negara kecil, dan tidak
sulit bagi pemerintah Singapura untuk mengontrol mobilitas rakyatnya.
Meski begitu, Singapura telah menerapkan kebijakan yang sangat represif,
khususnya terhadap umat Islam. Di Singapura, gerak-gerik umat Islam
selalu diawasi. Bukan hanya ulama’nya, tetapi juga umatnya. Untuk
mengontrol dan mengawasi para ulama’, Singapura menerapkan kebijakan
sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah),
meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak
bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan
khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka.
Tidak hanya itu, naskah khutbahnya pun
mereka dikte, dimana setiap Jum’at, mereka hanya diperbolehkan membaca
naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS)
Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan
bisa dijerat dengan UU ISA. Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat
Islam berkumpul, special branch (SB) atau intel ditempatkan. Tidak hanya
itu, CCTV pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk
mengintai gerak-gerik umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau
kajian yang disampaikan.
Malaysia juga menerapkan kebijakan yang
hampir sama, meski tidak serepresif Singapura. Dua-duanya merupakan
negara Komenwealth, dan sama-sama loyal kepada Inggris. Dengan kata
lain, inilah kebijakan yang diterapkan Inggris di kedua negara tersebut
melalui agen-agennya di pemerintahan. Nyatanya, Inggris pun berhasil
mempertahankan cengkramannya terhadap kedua negara tersebut, sehingga
tidak bisa diambil oleh negara penjajah yang lain.
Turki sebenarnya juga sama. Sebelum
Partai Keadilan Sejahtera berkuasa, sejak Kemal Attaturk, Turki
merupakan negara yang tunduk kepada Inggris. Inggris pun berhasil
mengontrol negara itu melalui militer yang berkuasa penuh di negera
tersebut. Kebijakan sertifikasi ulama’ di Turki juga merupakan warisan
dari kebijakan Inggris di sana. Setelah AS mengambil Turki, melalui
Partai Keadilan Sejahtera, kebijakan serupa tetap dipertahankan karena
dianggap menguntungkan kekuasaannya.
Inilah model yang sebenarnya diinginkan oleh Ansyad Mbai.
Inilah model yang sebenarnya diinginkan oleh Ansyad Mbai.
Kedudukan dan Sertifikasi Ulama’
Tidak bisa disangkal, bahwa ulama’ kaum
Muslim mempunyai kedudukan yang istimewa, bukan hanya bagi umat Islam
tetapi juga non-Muslim. Tanpa ulama’, kehidupan umat manusia akan
senantiasa dalam kebodohan, sehingga mereka dengan mudah diperdaya oleh
syaitan, baik dari kalangan manusia maupun jin. Sebaliknya, dengan
adanya ulama’ di tengah-tengah mereka, kehidupan mereka pun diterangi
ilmu dan hidayah Allah SWT. Melalui jasa para ulama’, pemikiran yang
sesat bisa dibongkar, dikalahkan dan pada akhirnya ditinggalkan umat.
Kabut keraguan hati dan jiwa pun berhasil disingkap, karena jasa-jasa
mereka. Tepat sekali apa yang disabdakan Nabi, “Perumpamaan ulama’
di muka bumi ini ibarat bintang di langit, yang digunakan untuk
mendapatkan petunjuk di tengah kegelapan darat dan lautan.” (Hr. Ahmad)
Pendek kata, keberadaan ulama’ ini
merupakan nikmat Allah bagi penghuni bumi. Karena mereka adalah pewaris
Nabi, penyambung lidah Nabi, pengemban kebenaran dan hujah Allah di
muka bumi. Tentu itu semua berlaku bagi para ulama’ pejuang yang
berpegang teguh pada kebenaran, hanya takut kepada Allah, tidak takut
kepada siapapun dalam menyampaikan kebenaran. Mencintai kebaikan,
menegakkan kemakrufan, mencegah kemunkaran, mengoreksi penguasa, memberi
nasihat kepada mereka, matanya selalu terjaga terhadap kepentingan kaum
Muslim. Mereka juga siap menanggung resiko dan kesulitan apapun dalam
memperjuangkan agamanya. Di situlah kemuliaan ulama’, yang dipuji oleh
Allah,“Sesungguhnya orang yang paling tekut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama’.”(Q.s. Fathir [35]: 27)
Perlu dicatat, bahwa predikat ulama’ dan
kemuliaan yang melekat kepadanya diperoleh, selain karena faktor
keilmuannya, juga karena sikap mereka dalam mengemban dan menerapkan
ilmunya. Mereka menjadi penjaga Islam, amanah terhadap agama Allah.
Mereka menyerukan para penguasa untuk menerapkannya dengan tulus, jujur
dan jauh dari kepentingan pribadi, harta atau jabatan. Mereka berani
mengatakan kepada orang yang zalim, “Anda zalim.” Berani mengatakan
kepada ahli maksiat, “Kalian maksiat kepada Allah.” Mereka seperti
Sufyan at-Tsauri, Imam Ahmad, Ibn Taimiyyah, ‘Izzuddin ibn Salam dan
yang lain. Mereka dikenang oleh umat, bukan semata karena keilmuannya,
tetapi karena sikapnya.
Jadi, predikat dan kemuliaan mereka
sebagai ulama’ diperoleh bukan dari sertifikasi penguasa, tetapi karena
ilmu dan sikap mereka di tengah-tengah umat. Sebaliknya, betapa banyak
kita saksikan mereka yang masuk dalam wadah “Majelis Ulama’” dan dengan
bangga menyandang predikat ulama’, tetapi tidak dihargai, dan bahkan
tidak diakui oleh umat sebagai ulama’. Kalau pun mereka diakui sebagai
ulama’, cap mereka pun jelek, “Ulama’ Salathin (ulama’ penguasa)”, atau
“Ulama’ Su’ (ulama’ jahat)”, dan sebagainya.
Sertifikasi Ulama’: Menghina dan Mengkerdilkan Ulama’
Wajar saja, jika ide gila sertifikasi ini
ditolak banyak kalangan. Meski ada juga yang mendukung. Tetapi, harus
ditegaskan, bahwa pendukung ide gila sertifikasi ini adalah orang bodoh,
yang tidak mengerti nilai dan kedudukan ulama’. Sebab, upaya ini justru
bertolak belakang dengan karakter ulama’ itu sendiri.
Al-Mawardi, dalam kitabnya, Adab ad-Dunya wa ad-Din, menyatakan bahwa akhlak ulama’ adalah tawadhu’, “Akhlak
yang wajib dimiliki oleh ulama’ adalah tawadhu’, dan menjauhi ujub
(membanggakan diri). Karena tawadhu’ membuat orang tertarik, sedangkan
ujub membuat orang lari. Ujub bagi siapapun jelas buruk, terlebih jika
ujub tersebut ada pada ulama’.” (Lihat, Al-Mawardi, Adab ad-Dunya
wa ad-Din, hal. 51) Bayangkan, jika para ulama’ harus disertifikasi,
kemudian sertifikasi ini menjadi legalitas mereka untuk menyampaikan
ilmu, maka ini sama dengan membunuh karakter mereka sebagai ulama’ yang
seharusnya tawadhu’, tidak boleh ujub, karena keulamakannya. Tidak
mustahil, dengan sertifiasi ini, akan muncul kumpulan orang yang
menyandang sertifikat ulama’, tetapi jauh dari pantas disebut ulama’.
Belum lagi, siapa yang layak memberikan sertifikasi ini? Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Tidak akan ada yang tahu kemuliaan ahli ilmu (ulama’), kecuali orang yang mempunyai kemuliaan.” (Lihat,
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal. 48). Siapakah “orang yang
mempunyai kemuliaan” yang pantang memberikan predikat keulamakan kepada
para ulama’ itu? Apakah Kementerian Agama pantas memberikannya? Apakah
Majelis Ulama’ Indonesia? Ataukah BNPT? Tidak ada yang pantas. Mungkin
memberi predikat ulama’ bagi orang yang berilmu mudah, tetapi predikat
ulama’ bagi orang yang paling takut kepada Allah, siapa yang bisa?
Karena itu, ide gila sertifikasi ini, hanya pantas disampaikan oleh orang bodoh. Seperti kata al-Mawardi,“Hanya
orang bodoh yang tidak mengerti kemuliaan ilmu (dan ahlinya). Karena
kemuliaannya hanya diketahui dengan ilmu.. Ketika orang bodoh tidak
mengetahui ilmu yang membuatnya tahu akan kemuliaan ilmu, maka tentu dia
pun tidak akan pernah mengerti kemuliaannya, dan akan menghinakan
ahlinya..” (Lihat, Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal. 24)
Jika para ulama’ mau mengikuti proyek ini, maka mereka adalah orang paling hina. Al-Mawardi mengutip ungkapan ahli hikmah, “Siapakah orang yang paling hina? Dijawab, “Orang alim (ulama’) yang tunduk dengan keputusan orang bodoh.” (Lihat, Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal. 48). Nabi bahkan mengingatkan, “Man
waqqara ‘aliman faqad waqqara rahhahu (Siapa saja yang menghina orang
alim [ulama’], maka dia sama saja telah menghina tuhannya).” (Hr
al-Mawardi dari ‘Aisyah). Bagaimana mungkin para ulama’ bisa dan mau
tunduk kepada proyek orang-orang yang jelas telah menghina Tuhan mereka?
Selain penghinaan luar biasa kepada para
ulama’, ide gila sertifikasi ini sebenarnya bertujuan untuk
mengkerdilkan para ulama’. Lebih tegas lagi, memperalat para ulama’
untuk menjaga kepentingan para penguasa, dan melanggengkan kepentingan
negara-negara penjajah yang menjadi majikannya. Karena itu, apa yang
dilakukan di tempat lain, sebut saja, Singapura, Malaysia dan Turki,
atau apa yang pernah dipraktikkan di era Soeharto, jangan sampai
terulang lagi, dan diberlakukan di negeri ini.
Akhirnya, Nabi mengingatkan, “La yuldaghu al-mu’minu fi juhrin wahidin marratain (Tidak
layak seorang Mukmin dipatuk ular dua kali pada lubang yang sama).”
(Hr. Bukhari, Muslim, dll). Maka, bahaya ide gila sertifikasi ini harus
disadari, dan ditolak dengan tegas, jika tidak, pasti umat dan para
ulama’nya akan terperosok dan dipatuk ular berkali-kali pada lubang yang
sama. Wallahu Rabb al-musta’an wa ilaihi at-takilan.
[Sumber]
No comments:
Post a Comment